Sebuah Perjalanan Gabungan mogenD dan ente
Jogja
Banyak
kisah yang bisa diungkapkan dalam perjalanan antara kawan-kawan mogenD (Modal
Genjot Doang) dengan eNTe (Nanjak Terus) Jogja ke kaki Gunung Merapi pada Sabtu
(12 September 2015) lalu. Di antaranya pertemuan tanpa sengaja dengan Kapolda
DI Jogjakarta Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol) Erwin Triwanto di tengah
kebun Salak. Sang kapolda bersama rombongan memang sedang turun dengan sepeda
DH (Downhill)-nya.
Dalam pertemuan itu, sebenarnya ada salah satu
kawan mogenD yang sangat dekat dengan Kapolda. Adalah Om Atrial yang juga
berpangkat Brigjen Pol. Meski Sang Kapolda kakak kelas dua tingkat di Akademi
Kepolisian (Akpol), namun mereka pernah satu ruangan atau mejanya bersebelahan ketika
masih berdinas di Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri. Kaget plus tawa
pun pecah saat keduanya bertatap muka. Obrolan ringan sempat terjadi.
Ketidaksengajaan
juga dialami Om Ghiri. Soalnya, salah satu rombongan Kapolda terdapat pula Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Jogja Komisaris Besar (Kombes—kalau di TNI
Kolonel) Hudit Wahyudi. Om Ghiri yang juga berpangkat Kombes merupakan satu
angkatan di Akpol dengan Kombes Hudit. Kembali dialog santai terjadi di
antaranya mereka. Tak mau kehilangan langka moment tersebut, sebelum melanjutkan
perjalanan, kedua rombongan lantas foto bersama.
Pertemuan
tak sengaja berikutnya dengan Ny Ponirah saat kawan-kawan finish di Dusun
Kinahrejo atau sebelah Barat Kaliadem, Jogjakarta. Perempuan 84 tahun ini
merupakan istri (alm) Mbah Maridjan, kuncen atau juru kunci Gunung Merapi yang
tutup usia akibat disapu wedus gembel atau awan panas erupsi Merapi pada 26
Oktober 2010 di kediamannya, Kinahrejo.
Desa itu berada persis
di bawah kaki Gunung Merapi yang memiliki ketinggian 2.968 mdpl (meter di bawah
permukaan laut). Akibat erupsi Merapi kala itu, turut tewas antara lain H Tutur
Priyanto (Relawan PMI) dan Yuniawan Wahyu Nugroho (jurnalis Viva News). Mereka
terjebak awan panas saat hendak mengevakuasi warga di Kinahrejo.
Kesempatan bertemu
dengan Ny Ponirah bisa dibilang langka. Sebab beliau tak sering muncul di bekas
kediamannya yang kini menjadi lokasi wisata. Ny Ponirah sekarang tinggal agak
di bawah dengan salah satu anaknya. Saat singgah ke bekas rumahnya, sesekali dia
menatap bangunan itu. Dari raut wajahnya yang telah menua seolah mengingatkan
kembali masa-masa hidup mendampingi (alm) Mbah Maridjan.
Usai habis disapu awan
panas, oleh pemerintah setempat, bekas rumahnya dibangun atap dan beberapa tiang
pondasi dari kayu. Tampak pula sebuah papan kecil memanjang bertuliskan “Omahe Mbah
Maridjan”. Sementara di dalamnya ada beberapa batu berbentuk nisan dengan sejumlah
lembaran bunga. Di lokasi itu pula Mbah Maridjan yang tak mau turun saat abu
vulkanik datang menghembuskan nafas terakhir dengan posisi sujud. Jasad Mbah
Maridjan akhirnya disemayamkan di dekat makam leluhurnya, Dusun Srunen, Sleman,
Jogjakarta, tak jauh dari Kinahrejo.
Di atap depan rumahnya
terdapat spanduk bertuliskan “Pepeling
Mbah Maridjan”. “Ajining Manungso Iku Gumantung Ono Ing Tanggung Jawabe Marang
Kewajibane". (Kehormatan Seseorang Dinilai dari Tanggung Jawab terhadap
Kewajibannya).
Selain rumah Mbah
Maridjan terdapat pula dipajang sisa-sisa keganasan Merapi seperti perabotan
rumah tangga, mobil jenis APV yang merupakan kendaraan evakuasi, dua motor
milik warga, gamelan milik mbah Maridjan, dan sebagainya.
Naik
Turun, Naik Turun Lagi
Untuk
melakoni perjalanan ke DI Jogjakarta dari Perumahan (Purn) Kopassus, Depok,
Jawa Barat butuh memakan waktu tiga sampai empat hari, mulai Sabtu sampai
Minggu/Senin atau 11-13/14 September 2015. Dengan menggunakan dua kendaraan,
satu jenis Panther dan satu pick up untuk sepeda, kawan-kawan mogenD berangkat
pada Jumat (11/9) pagi sekitar pukul 06.00 WIB. Kami tiba di Kota Gudeg sekitar
pukul 22.00 WIB atau 15 jam perjalanan. Lamanya perjalanan lantaran di sejumlah
titik kita terpaksa berhenti seperti di Brebes untuk menunaikan salat Jumat
bagi yang muslim. Demikian pula daerah-daerah lain untuk salat Ashar dan
Magrib. Selain itu, berhenti makan dan minum atau sekadar ngobrol melepas penat
di beberapa lokasi.
Di
samping bawa kendaraan, kawan-kawan lainnya menggunakan kereta api dan pesawat.
Kami menginap di rumah om Gangsal Wirajati, yang merupakan adik Om Ghiri/Mbak
Titis, tak jauh dari Polsek Pengasih. Setelah cukup tidur malam harinya,
kemudian hari berikutnya, Sabtu (12/9) sekitar pukul 06.00 WIB kami beranjak ke
titik kumpul di Tugu Yogyakarta (Pal Putih). Di tugu yang terletak di perempatan Jalan
Jenderal Sudirman dan Jalan Margo Utomo itu, kita bertemu dengan kawan-kawan eNTe
Jogja sesuai kesepakatan.
Dari
lokasi tersebut dilanjutkan menuju Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman,
Jogjakarta, persisnya di Markas Koramil dan Polsek Pakem. Kemudian kami menurunkan
sepeda dari pick up. Dari situ pula perjalanan dimulai sekitar pukul 07.00 WIB.
Seperti biasa sebelum berangkat kita berdoa dulu sesuai agama masing-masing.
Rute
diawali dengan medan onroad memasuki
pedesaan. Kemudian berhenti sejenak di Embung (Bendungan) Pakembinangun. Di
salah satu rumah warga di Desa Tritis, kami juga singgah sambil menunggu
rekan-rekan yang lain. Yah di rumah
itu pula, kawan-kawan pesta Salak Pondoh yang jumlahnya sebesar 10 kg dan teh
manis untuk melepas dahaga dan lapar.
Genjot
dilanjutkan menuju kawasan perkebunan Salak. Di kawasan tersebut, kondisi sudah
berdebu lantaran tanahnya berupa pasir gunung. Di areal itu juga kami bertemu
dengan rombongan Kapolda DI Jogjakarta Brigjen Pol Erwin Triwanto yang sedang
turun menggunakan sepeda DH.
Setelah ngobrol
sebentar, perjalanan dilanjutkan. Rute offroad
ini sudah mulai agak lebih menanjak, sehingga beberapa kawan ada yang terpaksa
menuntun sepedanya. Tanjakan masih dirasakan saat memasuki trek onroad dan memasuki perumahan warga.
Hingga sekitar pukul 12.00 WIB, kami beristirahat dan makan siang di sebuah
warung yang memang sering dijadikan titik kumpul para goweser, khususnya
anak-anak DH. Usai makan, rekan-rekan muslim menunaikan salat Dzuhur di musala
sebelah warung.
Di tengah perut
kenyang, gowes kembali dilakoni dengan melalui rute tanjakan jalan aspal.
Sampai akhirnya kami pun menemukan turunan tajam ke arah kali (sungai) yang
sudah mengering. Di kali itu terlihat beberapa truk dan orang yang tengah menambang
pasir.
Namanya main sepeda ke
gunung, sudah pasti ada tanjakan, turunan, naikan, turunan lagi. Itulah yang
dirasakan kawan-kawan mogenD dan eNTe Jogja. Setelah melintasi sungai, kita
langsung dihadapkan dengan tanjakan ngehe (tajam) dengan kemiringan antara 150-160
derajat. Karena medannya curam mirip trek hiking (pendakian gunung), maka
sepeda pun terpaksa digendong atau dituntun.
Sampai di atas kami
menemui Ruang Lindung Darurat Kaliurang. Ini merupakan salah satu bangker untuk
melindungi warga dari erupsi Gunung Merapi. Perjalanan dilanjutkan memasuki kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi. Di jalur itu kondisinya sudah berpasir. Selain
tanjakan, kami pun harus menapaki rute turunan tajam. Di lokasi ini pula,
kembali sepeda tak bisa digowes.
Setelah itu, melintasi tanjakan dan turunan
berbatu. Baru kami tiba di sebuah sungai yang airnya sangat jernih dan dingin. Air
sungai ini langsung berasal dari Gunung Merapi. Untuk melintasi kali tersebut,
terdapat sebuah jembatan yang terbuat dari beton.
Baru setelah itu, perjalanan dilanjutkan
dengan jalur onroad di jalan aspal menuju Desa Kinahrejo. Tanjakan kali ini
bisa dibilang panjang, nggak tahu berapa kilometer jauhnya, yang pasti ngos-ngosan.
Beberapa kawan terpaksa ada yang berhenti di warung untuk sekadar beristirahat
dan mencicipi makanan/minuman. Beberapa lainnya melanjutkan perjalanan ke atas.
Di warung dekat gerbang
masuk sejumlah rekan sempat berkenalan dan mengobrol dengan dua wisatawan asal
Malaysia yang sudah lanjut usia. Dari gerbang masuk, tanjakan tak ada
habis-habisnya hingga finish di kediaman (alm) Mbah Maridjan, Dusun Kinahrejo.
Selain melihat
sisa-sisa kemurkaaan Gunung Merapi pada 2010, kami juga sempat foto bersama dengan
Ny Ponirah, istri mendiang (alm) Mbah Maridjan. Kebetulan tiba di atas sudah
memasuki pukul 15.00 WIB, rekan-rekan lantas menjalani salat Azhar di musala
dekat kediaman (alm) Mbah Maridjan.
Setelah dirasa cukup, lalu
kita pulang. Nah perjalanan kali ini
nikmat banget. Betapa tidak, trek turunan terus bro. Asyikkk…Meminjam ocehan AA
Dede, “Jam segini sudah tidak boleh ada tanjakan” he he he…
Sesampai di markas
Koramil/Polsek Pakem sekitar pukul 16.30 WIB, kami pun langsung loading sepeda ke mobil pick up. Lelah,
berkeringat, lapar, haus, senang, kesal lihat tanjakan, kaki/paha kram, dan
sebagainya campur aduk menjadi satu. Namun semua itu menjadi kepuasan
tersendiri bagi kawan-kawan saat finish dan kembali ke rumah masing-masing.
Perjalanan gabungan ini
memakan jarak tempuh berkisar 40-50 km (ada beberapa titik tertentu yang tidak
digowes alias sepeda digendong atau dituntun) dan waktu sekitar 8-9 jam. Adapun
yang melakoni sekitar 17 orang. Dari mogenD sebanyak 10 orang di antaranya Om Atrial, Om Ghiri,
Aki Slamet, Aa Dede, Aa Dahlan, Pasung, Aep, Iis, Gaverg, dan djoeniE. Kemudian dari ENTe Jogja sebanyak tujuh orang antara lain Om Dewo,
Tri, Tendi, Is, Novi, Agus, dan Iyandri.
Untuk mengakhiri perjalanan,
kawan-kawan mogenD dan eNTe Jogja saling bersalaman. Kawan-kawan mogenD juga
mengucapkan matur nuwun sanget alias terima
kasih banyak kepada konco-konco eNTe Jogja yang sudah mendampingi perjalanan
sampai di ketinggian sekitar 1.050 mdpl atau ke kaki Gunung Merapi.
Special thanks juga atas partisipasinya :
-
- Bang Nur (Kolonel TNI Muh Nur)
- - Captain Arief
- - Copilot Gamal
- - Om/Ny Gangsal Wirajati (Adik Om Ghiri/Mbak
Titis)
- - ,Dan lain-lain yang nggak bisa
disebutkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar